Rabu, 15 Mei 2013

PERSIAPAN PERNIKAHAN BAGI LAKI-LAKI (PART II)

Setelah seseorang faham dan mengerti akan hukum yang melandasi niatnya untuk melakukan sebuah pernikahan, selanjutnya kita akan membahas tentang huruf kaf (ك) , yang berarti kayfiah (tata cara) dalam mempersiapkan pernikahan yang lebih dikenal dengan pendahuluan perkawinan atau khitbah.

Perkawinan sebagai upaya dasar pembentukan keluarga dimulai sejak pemilihan jodoh, ini dimaksudkan agar seorang calon suami istri bisa memilih seseorang yang bisa menjadi mitranya kelak dalam berbagi peran dan fungsinya menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya masing-masing[1] Perjuangan yang tidak mudah bagi siapapun yang menginginkan sebuah rumah tangga yang kokoh dan langgeng. Hal ini didasari oleh pengalaman kehidupan yang menunjukkan bahwa membangun keluarga itu mudah, namun memelihara dan membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami-istri alangkah tidak selalu mudah.[2]

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang calon suami maupun istri dalam memilih pasangan hidupnya kelak. Beberapa diantaranya karena kecantikannya, kekayaannya, kebangsawanannya dan keberagamaannya. Diantara sekian motivasi itu hendaknya seseorang mengutamakan keberagamaannya. Dengan memilih keberagamaan menjadi prioritas maka dia akan mendapat keberuntungan. Hal ini telah dijelaskan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya:

“Perempuan itu dikawini karena empat perkara: karena kekayaannya, karena kebangsawanannya, karena kecantikannya, dan karena keberagamaannya. Pilihlah perempuan karena keberagamaannya,kamu akan mendapat keberuntungan”. (H.R. Bukhari Muslim).

Kata khitbah berasal dari bahasa arab yaitu lafadz  (الخطبة) yang merupakan bentukan ketiga atau mashdar dari fi’il madhi dan mudhari’ yaitu  [خطب – يخطب – خطبا وخطبة.[4 Jika diawali dengan harakat kasrah yaitu dibaca خِطْبَة artinya adalah permintaan untuk kawin.  Sedangkan arti khitbah  menurut leksikal  adalah pinangan atau lamaran.[5]

Menurut istilah, khitbah termasuk ke dalam terminologi fiqh munakahat. Ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama, diantaranya:

Pertama, khitbah sebagai permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikah melalui cara atau perantaraan yang sudah biasa berlaku di masyarakat.[6]

Kedua, khitbah sebagai pernyataan kehendak untuk menikah yang disampaikan seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang dikehendakinya, baik secara langsung maupun  kepada walinya termasuk menyampaikan segala hal yang menyangkut kebutuhan perkawinan. [7]

Ketiga, khitbah sebagai penyampaian keinginan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang disukainya. Kemudian si perempuan menyampaikan hal itu kepada walinya. Atau penyampaian kehendak itu melalui perantara atau wali pihak laki-laki kepada wali atau perantara pihak perempuan. Jika terjadi kesepakatan diantara keduanya, maka terjadilah khitbah. Bagi keduanya, selanjutnya berlaku aturan-aturan syari’at yang terkait dengan khitbah.[8]

Selain ketiga definisi di atas, ada juga yang mendefinisikan khitbah sebagai perjanjian untuk melakukan akad perkawinan, baik yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau melalui mumassil (perantara) dari kedua belah pihak.  [9]

Meskipun khitbah didefinisikan dengan beragam redaksi oleh para ulama, dari segi substansinya memiliki kesamaan, dan jika disederhanakan akan menjadi formula sebagaimana yang dikemukakan oleh Amir Syarifuddin yaitu “Khitbah adalah penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan”.[10]

Permasalahan khitbah disinggung oleh al-Qur’an bersamaan dengan masalah iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini seorang wanita yang sedang dalam masa iddah wafat maupun iddah talak  diharamkan untuk melakukan akad pernikahan. [11]

Ali al-Shabuniy dalam Tafsir Ayat al-Ahkam-nya mencoba menjelaskan hukum khitbah dengan membaginya ke dalam tiga bagian:[12] Pertama, hukum wanita yang boleh dikhitbah; yaitu wanita yang tidak sedang terikat ikatan perkawinan. Oleh karenanya dia boleh dikhitbah tapi dengan pengecualian tidak dikhitbah orang lain. Kedua, hukum wanita yang tidak boleh dikhitbah; yaitu wanita yang sedang dalam ikatan perkawinan. Ketiga, hukum wanita yang boleh dikhitbah;  yaitu wanita yang sedang dalam masa iddah.[13]

Penjelasan Al Shabuniy di atas mencoba menegaskan bahwa apa yang disinggung al-Qur’an lebih mengarah kepada syarat-syarat wanita yang boleh atau tidak boleh dikhitbah, bukan terkait hukum khitbah itu sendiri. Demikian pula halnya dengan hadis-hadis yang berbicara seputar khitbah. Hampir tidak ada yang secara eksplisit menyinggung hukum peminangan itu sendiri.

Kondisi serupa terjadi di kalangan para ulama. Hampir tidak ada ulama yang secara tegas mengemukakan hukum khitbah. Hal ini bisa dilihat dari  bahasan khitbah dalam beberapa litratur fiqih yang ada, tidak ada sub bahasan khusus yang  terkait dengan hukum khitbah. Dengan demikian, hukumnya dikembalikan pada kaidah fiqh “al-Ashlu fi al-Asy’ya-i al-Ibahah, hatta Yadulla al-Dalilu ‘ala al-Tahrim" dalam arti hukumnya mubah.[14] Namun demikian, Imam Daud ad-Dzahiri berpendapat lain. Beliau mengatakan bahwa hukum khitbah adalah wajib.[15] Adapun alasan terjadinya khilaf tentang hukum khitbah ini disebabkan pada perbuatan Nabi tentang hal itu yang mengandung dua kemungkinan, wajib atau sunat.[16]

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam peminangan, berhubungan dengan peminangan itu sendiri maupun dengan status wanita tentang boleh dan tidaknya menerima pinangan.

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhshiyyah mengatakan bahwa dibolehkannya seorang laki-laki meminang seorang perempuan dengan syarat peminangan benar-benar dilakukan untuk tahap yang lebih serius yaitu pernikahan, dan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Ini dimaksudkan agar dimungkinkan terjadinya akad setelah peminangan tersebut dilakukan.[17] Mengenai wanita yang boleh dan tidak menerima pinangan, berikut penjelasannya:
 
Karena Mahram, jika wanita yang dipinang adalah mahramnya si laki-laki, maka ulama sepakat bahwa hukumnya adalah haram. Baik mahram sementara; seperti saudara perempuan istri, atau mahram untuk selamanya; seperti saudara perempuan kandung.[18]
 
Mu’taddah yaitu wanita yang sedang dalam masa iddah baik karena iddah wafat maupun iddah talak, baginya berlaku dua ketentuan yaitu :  

Dibolehkan menerima pinangan dalam masa iddah dengan ketentuan dilakukan secara ta’rid (sindiran) bagi wanita mu’taddah wafat. [19]  

Para fuqoha sepakat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talak  raj’i haram menerima pinangan baik yang dilakukan secara tashrih maupun ta’ridh. Karena wanita yang berada dalam masa iddah talak raj’i status hukumnya sama seperti wanita yang terikat dalam perakawinan.[20] 

Ketentuan bagi wanita yang sedang dalam masa iddah talak ba’in sugro baik karena khulu’ maupun fasakh terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah mengharamkan mereka menerima pinangan baik dengan lafazh tashrih maupun ta’ridh.[21] Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah keduanya membolehkan menerima pinangan dengan syarat secara ta’rid.[22]

Wanita yang sedang dalam masa iddah talak bain kubro (talak tiga) diperbolehkan jumhur dan ulama Hanabilah menerima pinangan secara ta’ridh. [23] Sedangkan Hanafiah berpendapat tidak boleh baik secara tashrih maupun ta’ridh.[24]
 
Seorang wanita tidak boleh dipinang apabila telah dipinang oleh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang artinya 

“Bahwasanya ibnu umar berkata:” Nabi telah melarang kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jangan pula seseorang meminang perempuan yang telah dipinang orang lain sehingga peminang pertama meninggalkannya atau mengijinkannya untuk meminang (H.R. Bukhari).
 
Mengenai larangan dalam hadis di atas, jumhur ulama mengindikasikannya sebagai keharaman.[26] Akan tetapi, keharaman tersebut dikaitkan dengan macam-macam pinangan yang dilakukan serta jawaban terhadap pinangan tersebut. Adapun macam-macamnya sebagai berikut:

Menerima  pinangan dengan jelas. Dalam hal jika si wanita menerima pinangan secara terang-terangan dan menyatakan setuju atau mengizinkan kepada walinya untuk menerima pinangan itu, maka diharamkan bagi laki-laki lain untuk meminangnya.

Menolak pinangan dengan jelas, Dalam keadaan wanita yang dipinang menolak pinangan laki-laki yang pertama. Maka laki-laki yang lain boleh mengajukan pinangan. Ini dikarenakan belum ada ikatan apa-apa dengan peminang yang pertama.[27]

Tidak memberikan jawaban yang jelas, tapi ada indikasi menyenangi peminangan itu. Keadaan ini sama seperti hukum pada keadaan yang pertama, yaitu laki-laki lain tidak boleh meminangnya. Demikian pendapat imam Ahmad.[28]

Ragu-ragu antara menerima dan menolak. Ketika terjadi keraguaan antara menerima dan menolak pinangan pertama, terdapat dua pendapat dikalangan fuqoha. Pendapat pertama, tetap melarang laki-laki yang lain untuk meminangnya. Ini karena dinilai melangkahi peminang pertama. Pendapat kedua membolehkan laki-laki lain untuk meminangnya. Alasannya karena keragu-raguan disamakan dengan sukut atau mendiamkan yang artinya sama dengan menolak.[29]

Tata Cara Peminangan

Peminangan adalah pendahuluan akad. Oleh sebab itu, peminangan dilakukan sebelum dilangsungkannya upacara atau resepsi pernikahan. Dalam praktek pelaksanaan khitbah, tidak ada tata aturan resmi yang khusus.[30] Akan tetapi, ada beberapa hal yang biasa dilakukan didalamnya, diantaranya yaitu menyampaikan pinangan kepada seorang wanita untuk menjadikannya sebagai seorang istrinya. Ada dua cara penyampaian ucapan peminangan[31], yaitu: Pertama, menggunakan ucapan yang jelas atau tashrih. Dalam arti lain yaitu “ungkapan yang terus terang dalam arti tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ‘saya ingin  mengawinimu atau, setelah habis masa iddahmu aku akan mengawini dirimu”.[32] Kedua, menggunakan sindiran atau yang tidak terus terang yang biasa juga disebut ta’ridh.  Ucapan ini juga dikenal dengan istilah kinayah yaitu ucapan yang mengandung arti peminangan dan juga mengandung arti bukan untuk peminangan.[33]

Melihat Pinangan 

Seorang laki-laki yang sedang meminang perempuan dibolehkan melihat pinangannya itu. Hal ini didasari oleh beberapa hadits yang menganjurkan seseorang untuk melihat perempuan yang sedang dipinangnya. Salah satunya adalah hadis dari Jabir yang artinya :
 
“Dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang di antara kamu meminang perempuan dan jika ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahinya, maka lakukanlah”. (H.R. Abu Daud).
Dari hadits di atas, diketahui bahwa melihat perempuan yang sedang di pinang dibolehkan atau bahkan dianjurkan dalam Islam. Hikmahnya adalah untuk memengikat cinta dan kasih sayang atas dasar  kecocokan diantara keduanya sebagai bekal kelak berumah tangga.[35]  Di samping itu, upaya ini juga dilakukan agar kedua belah pihak saling mengetahui baik buruknya agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.[36]

Kebolehan ini juga berlaku bagi wanita. Seorang wanita boleh melihat laki-laki yang melamarnya. Hal ini diqiyaskan dengan kebolehan seorang laki-laki melihat wanita yang dilamarnya.[37] Bahkan hal ini lebih utama bagi wanita dibanding laki-laki. Alasannya laki-laki dapat meninggalkan wanita yang tidak disukainya, namun hal ini tidak mudah dilakukan oleh wanita.[38]

Batasan Yang Boleh Dilihat

Berkenaan dengan batasan yang boleh dilihat sewaktu meminang, jumhur fuqaha memperbolehkan melihat pinangan sebatas wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan Abu Hanifah memperbolehkan melihat kedua telapak kaki. Hanabilah menambahkan dengan membolehkan melihat bagian yang biasa terlihat ketika sedang beraktifitas seperti wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan lutut.

Pendapat berbeda dikemukan Imam Daud Ad Zhahiri yang memperbolehkan melihat seluruh badan perempuan yang dipinang. Alasannya disandarkan pada zhahir lafad hadis Unzhur Ilaiha. Namun pendapat ini dinilai munkar dan syaz.[39]

Ketentuan diatas juga berlaku bagi wanita dalam hal melihat laki-laki yang meminangnya. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan ketertarikan si wanita kepada laki-laki yang meminangnya, sebagaimana ketertarikan seorang laki-laki kepada wanita yang dipinangnya.[40] Adapun batasannya, seorang wanita boleh melihat bagian laki-laki yang meminangnya selain muka dan kedua telapak tangannya. Alasannya aurat laki-laki hanya sebatas pusar dan lutut.[41]

Terlepas dari semua ketentuan di atas, hendaknya kita memperhatikan pendapat para fuqaha tentang kebolehan seorang laki-laki ajnabi melihat seorang perempuan ajnabiyah hanya dalam keadaan dharurah atau hajah.[42] Demikian pula halnya dengan seorang laki-laki yang sedang meminang seorang perempuan, maka dia diperbolehkan melihat pinangannya itu dengan alasan bahwa peminangan termasuk kategori dharurah.[43]
 
Waktu Melihat Pinangan 
Menurut Syafi’iyah waktu melihat pinangan dilakukan sebelum dilangsungkannya khitbah. Caranya dilakukan tanpa sepengetahuan wanita yang dipinang. Hal ini dilakukan untuk menjaga perasaan si wanita dan keluarganya.[44] Akan tetapi menurut Wahbah Zuhailiy cara yang paling tepat bisa dilakukan dengan izin si wanita maupun tidak.[45] Wahbah Zuhailiy juga menambahkan syarat melihat pinangan yaitu harus dihadiri oleh mahramnya. Selain itu, dilakukan ditempat-tempat yang tidak dilarang syar’i. Yang juga harus diperhatikan adalah keadaan si wanita harus mengenakan pakaian yang menutupi dirinya dari bagian yang tidak boleh dilihat oleh selain mahramya.[46]

Seorang pelamar boleh mengulangi pandangannya kepada wanita yang dilamar selama hal itu dibutuhkan dalam rangka menimbulkan dorongan untuk menikahi si wanita yang dilamar. [47]

Mengumumkan Peminangan

Seseorang yang melakukan peminangan diperbolehkan mengumumkan peminangannya itu dengan cara yang disyari’atkan baik dengan memberitahu karib kerabat, atau memberi tanda khusus dirumah para pihak yang telah melakukan peminangan. Akan tetapi sebaiknya khitbah tidak perlu disiarkan. Karena khitbah saja belum tentu terjadi pernikahan. Hal ini di dasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Ummu Salamah yang berbunyi yang artinya: 

“Umumkanlah pernikahan dan sembunyikan pelamaran”.Menurut hadis di atas yang dianjurkan untuk diramaikan ataupun diumumkan hanya pada pernikahan saja, tidak pada saat peminangan. Sebagaimana dalam sababul wurud hadis ini yang menceritakan Habbar bin al Aswad telah menikahkan putrinya dengan cukup meriah. Rasulullah mendengar bunyi gendering ditabuh orang. Bertanyalah rasulullah: Bunyi apa ini? Dijelaskan kepada Rasul bahwa bunyi gendering itu adalah pesta pernikahan putri Habbar, Rasul pun bersabda yang artinya: 

"Siarkan dan umumkan pernikahan itu".[49]

Akibat Hukum Khitbah

Hubungan antara peminang dan yang dipinang sebagaimana diketahui bahwa khitbah merupakan pendahuluan akad perkawinan dan bukan akad. Dengan demikian hubungan antara si peminang dan yang dipinang statusnya masih sama seperti ajnabiyah. Oleh karena itu bagi keduanya berlaku ketentuan: Pertama, tidak boleh berdua-duaan atau berkhalwat tanpa ada mahramnya. Kedua, dilarang saling bersentuhan atau kontak badan. Ketiga, dilarang saling memandang yang diharamkan oleh Allah dari keduanya.[50]

==========================
[1] Mawardi, Nur Hidayati, IAD-ISD-IBD, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 216
[2] Basri, Hasan, Keluarga Sakinah: Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), 3
[3] Bukhari, al-, Sahih al-Bukhariy, (Kairo: Darul Hadith, Jilid.III, 2005), 364
[4] Mashdar dalam kaidah tata bahasa Arab berarti isim yang dibaca nasab yang menunjukan pada suatu peristiwa tanpa disertai penunjukan waktu. Demikian halnya dengan Lafaz خِطبة   merupakan bentuk mas}dar, yang menunjukan arti cara dilakukannya peminangan. Mas}dar dengan wazan seperti ini dikenal dengan  mashdar haiyat (keadaan/tingkah laku).  Dayyab, Hifni Bek et al. Kaidah Tata Bahasa Arab, Terj. Chatibul Umam,dkk, Qawa’id al-Lugoh al-‘Arabiyyah, (Jakarta: Darul Ulum Press, cet.X, 2007), 113
[5] Bisri,  Adib,  Munawwir A. Fatah, Kamus Al Bisri ; Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-Arab (Surabaya: Pustaka Progresif, cet.I,1999), 164
[6] Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, (Beirut:Darul Fikr, cet.I, Juz II, 2006), 462
[7] Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Beirut:Darul Fikr,tt), 28
[8] Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr al-Ma’as’ir, juz IX,tt), 6492
[9] al,Shabuniy, ‘Abdu al-Rahman, Nizhamul Usrah wa Hillu Musykilatiha fi Dhau al-Islam, (Beirut: Darul Fikr, 2001), 55; lihat juga, Shaqr ‘ Athiyyah, Mausu’atul Usrah Tahta Ri’ayatil Islam: Marahilu Takwin al-Usrah, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet.I, Juz I, 2003), 296
[10] Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang perkawinan, (Jakarta: Kencana, cet.III, 2006), 49
[11] al, Shabuni, Rawai’ al-Bayan .,295
[12] Ibid.,
[13] Wanita-wanita  mu’taddah dibagi ke dalam dua kelompok yaitu mu’taddah wafat dan mu’taddah  talak. Untuk selanjutnya mu’taddah talak dibagi menjadi tiga, yaitu: ‘iddah talak raj’i, iddah talak ba’in sugro, dan ‘iddah talak bain kubro.
[14] al, Suyuthiy, Jalaludin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-nazha-ir; fi al-Furu’, (Surabaya: Haramain, 2008), 44
[15]  ibn, Qudamah,  Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al Mughniy, (Riyadl: Darul ‘Alam al-Kutub, cet.III, Juz.IX, 1997), 466
[16] ibn, Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Kairo: Darus Salam, cet.III, 2006) 1236
[17] Adapun alasannya, peminangan pada dasarnya adalah wasilah atau perantara mencapai maksud-tujuan yaitu pernikahan. Dengan demikian jika tujuan yang hendak dicapai terlarang menurut syar’i maka perantaranya pun tidak dibolehkan,  Zahrah, al Syakhshiyah.,30
[18] Sayyid Sabiq, sunnah, 463 ; Zahrah.,al-Syakhsiyah, 31;  Akram Ridla, Qawaid Takwin, 193; Zuhailiy, al-Fiqhu al-Islamiy, 6497; ‘Abdurrahman al-Sabuni, Nizhamul Usroh wa Hillu Musykilatiha fi dlau al-Islam, (Beirut : Darul Fikr,2001), 56
[19]  al, Qurtubi, Muhammad ibn Ahmad al-Anshariy, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, ( Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid.IV, 1993), 124
[20]  ibn, Qudamah,  Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al Mughniy, (Kairo: Hajr, cet.I, Juz.IX, 1989), 572
[21] Zuhailiy, al-fiqh al-Isma>miy, 6499
[22] ibn, Qudamah, al-Mugni, 573
[23] Ibid, 572
[24] Zuhailiy, al-Fiqh, 6499
[25] al, Bukha>ri, S}ahi>h al-Bukha<>riy, (Kairo: Da>rul Hadi>t, jilid.III, 2005), 376
[26] Rid}a,  Qawa>id.,196
[27] Zahrah, al-Syakhshiyyah,  33
[28] ibn, Qudamah, al-Mughni.,568
[29] Abu Zahrah.,al-Syakhshiyyah, 34
[30] Shaqr, Mausu’ah, 300
[31] Zahrah, al ahwal.,31
[32] Zuhailiy, al-fiqh al-Islam, 6498
[33] Ibid
[34] al,Sijistaniy, Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’atas, Sunan Abu Daud , Abdul Qadir Abdul Khair, (eds.) (Kairo: Darul Hadis|, Juz II, 1999), 890
[35] Demikian penafsiran Imam ibn Qoyyim terhadap kalimat “an-Yu’dama Bainakuma” yang beliau artikan cocok, sesuai dan serasi..lihat, Istambuli,al-, Mahmud Mahdi, Kado Perkawinan, Terj. Ibn Ibrahim, Tuhfah al-‘Arusy, (Jakarta: Pustaka Azzam, cet.XXV, 2007), 42
[36] Hal ini sama seperti yang diungkapan oleh al-A’masy  yang dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah dimana beliau berkata bahwa “tiap-tiap perkawinan yang sebelumnya tidak saling mengenal, biasanya berakhir dengan penyesalan dan gerutu”, Sayyid Sabiq, Fiqih.,464
[37]  Abu Ahmad, Kode Etik, 87
[38]  Ibid
[39] Ibid
[40] Al- Shan’ani, Subulus Salam, ( Makkah: Maktabah  Risalah Hadithiyah, jilid III, tt), 113
[41] Abu Ahmad, Kode Etik, 88
[42] Diantara bentuk Hajah  selain dalam rangka melakukan khitbah adalah dalam kegiatan mu’amalah seperti jual beli, pinjanm memeinjam, sewa menyewa, saksi, ta’lim, pengobatan dan lain sebagainya. Dalam keadaan hajah seorang laki-laki boleh melihat wanita ajnabiyah dengan syarat sebatas wajah menurut Syafi’iyah. Sedangkan menurut Hanabilah boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan. Lihat, Zuhailiy, fiqh al-Islam, 6505
[43] Ridha,Qawaid.,206
[44] Maksudnya adalah, jika calon pelamar melihat sesuatu yang tidak menyenangkan dari wanita yang akan dilamar, maka dia akan mengurungkan niatnya untuk mengkhitbahnya. Dan si wanita tidak akan mendapatkan aib. Sebaliknya jika melihat wanita yang dilamar sesudah atau pada saat lamaran berlangsung, maka membatalkan lamaran berkemungkinan mengakibatkan patah hati wanita yang dilamar. Selain itu, hal ini bisa menimbulkan luka bagi wanita dan keluarganya. Lihat. Ahmad, Nada Abu, Kode Etik Melamar Calon Istri ;Bagaimana Agar Khitbah Sesuai Sunnah, Terj.Fajariyah, Nila Nur, al-Khitbah; Ahkam wa Adab ( Solo:Kiswah Media, 2009), 83
[45] Zuhailiy, al-Fiqh, 6507
[46] Ibid, 6505
[47]  Ahmad, Nada Abu, Kode Etik Melamar, 81
[48] Al-Jami’ul Kabir
[49]  al, Damsyiqi, ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, Terj. Suwarta Wijaya, Zafrullah Salim, Asbab al-Wurud ( Jakarta: Kalam Mulia, cet.V, jilid II, 2008), 208
[50] Ridha, Qawaid, 206

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More